Pertengahan tahun 2015, mungkin kawan-kawan yang
gemar mendaki gunung—terutama Gunung Merbabu pasti ingat bahwa pada waktu itu
terjadi kebakaran yang sangat parah di Gunung Merbabu. Kebakaran terjadi di
setiap jalur pendakian. Imbasnya, kegiatan pendakian di Gunung Merbabu ditutup
selama berbulan-bulan. Menurut salah satu petugas basecamp, kebakaran tahun
2015 adalah salah satu kebakaran terhebat yang pernah terjadi di Gunung
Merbabu.
Desember 2015, Appe, Wiwit, dan kawan-kawan Cemara
Miring sedang nongkrong santai di sebuah warung kopi. Mereka membicarakan
banyak hal disitu. Kala itu, warung kopi juga cukup ramai—karena malam minggu. Kemudian,
entah ada angin apa, Wiwit ingin mendaki ke Merbabu. Ia pun melempar ajakan di
tongkrongan waktu itu. Tetapi, yang menjadi permasalahan, pada waktu itu Wiwit
masih menempuh pendidikan tinggi di Semarang, dan hari Rabu esok ia sudah harus
kembali ke Semarang. Jadi pilihanya, berangkat besok (hari Minggu) atau tidak
sama sekali.
Dari sekian banyak kawan-kawan Cemara Miring yang
ada disitu, hanya Appe yang mengiyakan ajakan Wiwit. Mungkin karena dia
memiliki waktu yang lebih fleksibel. Wiwit pun langsung menanyakan peralatan
kepada Mas Kris (sesepuh Cemara Miring), untuk dipinjam. Karena pada waktu itu,
peralatan kami belum lah selengkap sekarang. Setelah peralatan siap, kami pun
langsung beranjak dari warung kopi untuk mengambil peralatan mendaki.
Keesokan harinya, mereka menyiapkan peralatan yang
ingin dibawa serta memastikan kembali bahwa semua peralatan yang dibawa dalam
kondisi baik. Setelah semua peralatan siap, mereka menuju Desa Cunthel, Kopeng.
Mereka memilih mendaki melalui jalur pendakian Cunthel, karena jalur tersebut
lebih familiar untuk Appe. O iya, untuk Wiwit, ini adalah kali pertama ia
mendaki Merbabu.
Dengan menggunakan sepeda motor—itu pun hasil dari meminjam
dari Candra, mereka berdua berangkat menuju basecamp Manggala, Cunthel. Sebelum
singgah di basecamp, mereka berdua membeli beberapa logistik di sebuah mini
market di daerah Kopeng. Setelah berbelanja dan istirahat sejenak di mini market,
awan abu-abu pekat terlihat menutupi dataran Kopeng—tidak terkecuali Gunung
Merbabu. Sesaat setelah mereka memasuki gerbang Taman Nasional Gunung Merbabu,
hujan yang cukup deras pun menyambut mereka.
Sesampainya di basecamp jalur pendakian Cunthel,
hujan lebat serta angin kencang mengguyur desa Cunthel dan sekitarnya. Mereka
pun beristirahat di basecamp yang saat itu sangat sepi pendaki. Menurut
keterangan petugas basecamp kala itu, hanya ada beberapa pendaki yang melakukan
pendakian. Dan mungkin, saat itu sedang dalam perjalanan turun. Sedangkan di
hari yang sama Appe dan Wiwit tiba di basecamp, belum ada pendaki lain yang
mendaki Gunung Merbabu melalui jalur pendakian Cunthel. Setelah ngobrol ngalor-ngidul dengan petugas
basecamp sembari menunggu hujan reda, mereka pun bersiap untuk memulai
pendakian.
Kurang lebih pukul 4 sore. Hujan belum sepenuhnya reda. Rintik
gerimis masih menemani pendakian mereka dari basecamp hingga Pos Bayangan 1. Disepanjang perjalanan, Appe dan Wiwit menemui
beberapa pendaki yang hendak turun. Setidaknya sampai menjelang petang.
Terakhir kali mereka berdua terlihat saling sapa dengan pendaki lain adalah
ketika perjalanan menuju Pos 1. Setelah itu, hanya suara nafas mereka dan
rintik hujan—yang kadang masih turun—yang menjadi kawan mereka.
Hari semakin gelap dan mereka berdua mulai
menyalakan senter untuk membantu melihat jalur pendakian. Semakin gelap,
semakin sunyi. Mungkin itu kata yang bisa mendeskripsikan perjalanan mereka
kala itu. Selepas melewati Pos 1, sisa-sisa dari kebakaran yang beberapa waktu
lalu sangat terlihat. Semak serta pepohonan yang biasanya masih tumbuh
disekitar kawasan tersebut hangus terbakar. Hanya ada beberapa batang pohon
yang masih berdiri, itu pun dalam keadaan hangus terbakar juga. Setelah
beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 2. Di luar dugaan,
Pos 2 yang sering digunakan para pendaki untuk mendirikan tenda ini—karena
kontur tanahnya yang rata, serta terdapat pepohonan yang dapat melindungi tenda
dari terpaan angin kencang—luput dari lalapan si jago merah. Kondisi Pos 2
tidak banyak berubah. Namun, ketika mereka melihat disekeliling dari Pos 2,
semuanya berbeda. Tidak ada pohon yang masih hidup disitu. Sampai rumput dan
tumbuhan semak pun habis terbakar.
Perjalanan mereka kala itu, lebih cepat dari yang
diperkirakan. Mereka pun berencana untuk makan malam dan bermalam di Pos
Pemancar atau Pos 4. Saat mereka dalam perjalanan menuju Pos 3, pelan namun
pasti, rasa takut mulai menghampiri mereka. Ditengah luasnya Gunung Merbabu
hanya ada mereka berdua—sunyi. Dan ditengah kesunyian itu, tiba-tiba mereka
mendengah suara batuk manusia. Mereka antara yakin dan tidak yakin itu suara
manusia. Karena menurut keterangan petugas basecamp, tidak ada pendaki lain
selain mereka yang melakukan pendakian. Untuk memastikan, mereka coba berteriak
hingga menyalakan lampu SOS. Namun tidak ada yang membalas. Suara yang mereka
yakini sebagai suara batuk manusia itu, sedikit banyak mengurangi rasa takut.
Mereka pun kembali berjalan dengan penuh semangat. Mereka memperkirakan suara
tersebut berasal dari Pos 3 atau Pos Pemancar. Karena di kedua pos tersebut
sering digunakan pendaki untuk bermalam.
Namun ketika mereka tiba di Pos 3, mereka tidak
melihat ada tenda berdiri disana—apalagi manusia, nihil. Tidak ada siapa pun
disana. Dengan mengesampingkan rasa takut, mereka beristirahat sejenak di Pos
3—sebelum melewati tanjakan demi tanjakan menuju Pos Pemancar. Sembari
beristirahat, mereka mengamati sekeliling. Tidak ada tumbuhan yang luput dari
lalapan si jago merah. Semua hangus terbakar.
Setelah sejenak melepas lelah, mereka berdua kembali
berjalan menuju Pos Pemancar. Mereka sudah tidak sabar ingin menyantap makan
malam serta bersantai di dalam tenda. Karena suasana malam saat itu serasa
semakin sunyi bagi mereka. Sunyi yang mereka maksud kala itu berbeda dengan
sunyi biasanya yang menenangkan. Namun sunyi kala itu terasa mencekam.
Mereka tidak banyak beristirahat demi untuk segera
tiba di Pos Pemancar. Dengan dihantui rasa takut, mereka berdua terus berjalan
melalui trek yang cukup terjal menuju Pos Pemancar. Namun tiba-tiba—Appe yang
waktu itu berjalan di depan, dikagetkan oleh sesosok hewan yang sekelebat
menyebrang jalur pendakian. Tidak jelas hewan apa itu. Mereka berdua langsung
memutuskan untuk turun, dan berhenti sejenak. Jantung berdegup kencang, rasa
takut yang sedari tadi menghantui memuncak.
Menurut keterangan petugas basecamp (lagi)—sewaktu
mereka memadamkan api beberapa lalu—para petugas ini menemukan kotoran macan
kumbang serta sarangnya di sekitar Pos 3 jalur pendakian Cunthel. Karena masih
shock karena bertemu seekor hewan yang sekelebatan mengagetkan tadi, Appe dan
Wiwit memutuskan untuk kembali ke Pos 3. Dan mereka berdua memutuskan untuk
makan malam serta menyeduh kopi di Pos 3, untuk menenangkan keadaan.
Setelah perut terisi dan kondisi mental lebih baik,
Appe dan Wiwit kembali melanjutkan perjalanan menuju Pos Pemancar. Kali ini
mereka berdua berjalan dengan lebih tenang, namun tetap waspada. Setiap mereka
berhenti untuk mengambil nafas, mereka selalu mengamati kondisi sekitar. Dengan
bantuan senter, jarak pandang mereka cukup jauh. Karena cuaca malam itu cukup
cerah serta kondisi vegetasi yang kala itu “bersih” karena terbakar.
Kurang lebih pukul 9 malam, Appe dan Wiwit pun tiba
di Pos Pemancar. Dan disana pun tidak ada siapa-siapa, sepi. Jadi, suara yang
mereka dengar (suara batuk) tadi suara apa? Sepertinya mereka sudah tidak
menghiraukan hal itu. Setelah selesai mendirikan tenda, mereka menikmati
kesunyian malam di Gunung Merbabu dari Pos Pemancar yang berada di ketinggian
2.896 mdpl. Sembari kembali menyeduh kopi, mereka benar-benar menikmati
kesunyian kala itu. Saat kabut sedikit demi sedikit mulai menghampiri mereka, Appe
dan Wiwit pun masuk tenda dan beristirahat untuk memulihkan stamina. Tidak lama
setelah mereka berdua masuk ke dalam tenda, suara rintik hujan yang jatuh ke
tenda pun terdengar. Serta angin sepoi-sepoi perlahan berubah menjadi angin
kencang. Tetapi rasa lelah membuat Appe dan Wiwit dengan mudah terlelap dalam
tidur malam itu.
Pagi-pagi sekali mereka berdua bangun, tetapi cuaca
diluar tenda sedang tidak mendukung untuk melanjutkan perjalanan ke puncak pagi
itu. Hujan dan angin kencang yang dari semalam datang, belum juga usai. Yahhh,
mungkin semesta ingin mereka beristirahat sedikit lebih lama di tenda. Akhirnya
Appe dan Wiwit menyeduh kopi sembari menunggu badai reda. Kurang lebih pukul 9
pagi, badai sudah benar-benar hilang. Langit pun menunjukan warna biru yang
menyenangkan. Mereka pun membawa logistik secukupnya, untuk bekal perjalanan
menuju puncak. Rencananya, mereka berdua akan langsung menuju Puncak Kentheng
Songo. Setelah berjalan dari kemarin, mereka baru menyadari bahwa Merbabu
benar-benar abu-abu kala itu. Dampak dari kebakaran beberapa waktu lalu,
benar-benar mengerikan.
Jalur dari Pos Pemancar menuju puncak akan lebih
menguras tenaga dari sebelumnya. Karena pada jalur ini, trak mulai naik turun
dan berbatu. Mereka berdua cukup sering berhenti untuk mengambil nafas, karena
perjalanan menuju Puncak Kentheng Songo masih panjang. Mereka berdua pun beristirahat
di persimpangan Puncak Syarif cukup lama. Karena tidak ingin lagi menemui malam
hari, Wiwit pikir langsung menuju Kentheng Songo (tidak singgah ke Puncak
Syarif) adalah pilihan tepat. Mengingat kejadian semalam yang cukup membuat
jatung berdebar lebih kencang dari biasanya.
Waktu semakin siang, dan kabut mulai menutup Puncak
Kentheng Songo. Kurang lebih pukul 11 siang, Appe dan Wiwit tiba di Puncak
Kentheng Songo setelah meniti tebing batu yang cukup terkenal dijalur pendakian
via Cunthel. Dan setelah sampai disana, mereka dikejutkan dengan hangusnya
Puncak Kentheng Songo.
Bahkan tulisan Puncak Kentheng Songo—yang biasa dipakai
para pendaki untuk berfoto, ikut dilalap sijago merah. “Merbabu benar-benar
abu-abu”. Karena kabut telah membuat Merbabu semakin abu-abu, Appe dan Wiwit
hanya sedikit berfoto. Dan mereka menyempatkan untuk memasak dan makan siang
disana. Setelah selesai makan siang dan memanjatkan sedikit do’a untuk Merbabu
dan semesta yang menjadi rumahnya, mereka berjalan turun.
Pendakian Merbabu ini benar-benar memberitahu kepada
mereka berdua, bahwa manusia hanyalah setitik abu dalam semesta ini—yang bisa
hilang kapan saja bila tertiup angin. Jadi tetaplah jadi manusia sebagaimana
manusia diciptakan. Jangan coba menjadi hal yang lebih dari itu, atau bahkan
mencoba menjadi Tuhan—yang seakan-akan berhak atas segalanya. Jangan pernah!
Komentar
Posting Komentar