Hari Idul Fitri telah tiba. Mulai dari baju baru
hingga makanan khas hari raya telah kami persipkan. Di kampung halaman, kami
berkumpul, bermaaf-maafan dengan sanak saudara dan juga kawan-kawan yang tidak
bisa sering bertemu karena kesibukan masing-masing. Kami begitu senang dapat
bertemu dan berkumpul dengan kawan-kawan Cemara Miring yang pada hari-hari
biasa tidak bisa bertemu.
Dan pada Lebaran kala itu, Cemara Miring mengadakan
pendakian dan halal bihalal di gunung
Lawu yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hampir semua
keluarga Cemara Miring ikut serta pada waktu itu. Total ada 18 orang yang ikut
ke Lawu. Andre, Oki, Ngek, Cakel, Gambir, Boncu, Appe, Bayol, Linda, Danik,
Anggi, Alif, Wiwit, Aripo, Kepet, Parot, Candra, dan Kambang berangkat dari
Purwodadi, Grobogan pukul 7 pagi dengan mengendarai sepeda motor. Kami bak
komunitas sepeda motor yang hendak melakukan touring. Saat orang-orang masih memilih untuk berkumpul dengan
sanak saudara di rumah, kami malah memilih untuk menepi dan berkumpul bersama
kawan-kawan di gunung.
Sekitar pukul 12.30 kami tiba di basecamp pendakian
gunung Lawu jalur Cemoro Sewu. Ketika kami tiba di basecamp (yang tepat berada
di tepi jalan raya), belum terlihat pendaki lain yang hendak mendaki. Kami pun
beristirahat sejenak sembari membeli kebutuhan logistik di warung yang berada
persis di samping basecamp. Rencananya, nanti kami akan bermalam di Pos 5 dan
akan menuju puncak esok. Kemudian kami akan turun melalui jalur Cemoro Kandang—yang
letaknya berdekatan dengan jalur Cemoro Sewu.
Saat jam sudah menunjukan pukul 15.00, kami pun
berkemas serta mengisi simaksi dan kemudian memulai pendakian. Saat kami hendak
memulai pendakian, baru lah orang-orang dengan tas keril di punggung berdatangan—cukup
ramai. Cuaca sangat bersahabat saat kami mulai berjalan. Kala itu memang sedang
musim kemarau, dan kami tidak terlalu kawatir dengan hujan. Yang lebih kami
khawatirkan adalah udara dingin yang menusuk tulang. Pada saat mendaki di musim
kemarau, udara akan terasa lebih dingin, terutama ketika mentari sudah temaram.
Ketika memasuki jalur Cemoro Sewu, kami langsung
disuguhi pepohonan yang rimbun. Tidak terlihat perkebunan warga di kanan atau
kiri. Jalur pendakian langsung berhiaskan hutan. Pada pendakian kali ini, cukup
banyak dari kami yang baru pertama kali melakukan pendakian gunung. Bagi Alif,
Anggi, Bayol, Aripo, Kambang, dan Parot ini adalah pengalaman pertama mereka
menggendong tas keril, melewati jalanan yang kadang kita sendiri tidak tahu
seperti apa.
Sekitar 1,5 jam kami berjalan, kami tiba di Pos 1.
Dan nampaknya semesta sudah mulai menyeleksi kami. Alif sudah mengisyaratkan
bahwa fisiknya agak sedikit bermasalah. Sembari beristirahat, kami pun mengurangi
beban pada tasnya—hanya tersisa 1 kantung tidur dan baju ganti serta 1 botol
air minum. Setelah beban sudah lebih ringan dari sebelumnya, Alif pun nampaknya
lebih lincah. Kami pun melanjutkan perjalanan. Matahari pun sudah mulai temaram
ketika kami meninggalkan Pos 1.
Saat adzan mahgrib samar-samar terdengar, kami tiba
di sebuah bangunan yang bertuliskan Pos 2. Kami pun kembali berhenti disana.
Seperti dugaan kami, udara semakin dingin ketika sinar mentari tiada. Agar
tidak kedinginan, kami pun membuat perapian di dalam bangunan Pos 2—bersama
kelompok pendaki lain, sembari menunggu adzan mahgrib selesai berkumandang. Di
Pos 2, salah satu dari kelompok kami kembali mengalami kendala. Kali ini Parot.
Karena udara yang sangat dingin kala itu, dan kami terlalu lama berhenti, Parot
kedinginan dan mengalami sesak nafas. Untung kami membawa tabung oxygen. Ketika
kami hendak memulai perjalanan, Parot enggan untuk ikut. Dia meminta kami untuk
meninggalnya di Pos 2.
Namun kami tidak ingin mengambil resiko untuk
meninggalkanya sendiri di Pos 2 dengan kondisi yang seperti itu. Kami pun
berdiskusi terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan.Sembari berdiskusi,
dan membiarkan Parot serta kawan-kawan yang lain beristirahat di dekat perapian,
kami membuat teh (+madu) hangat untuk sekedar menghangatkan badan dari dalam.
Setelah kami timbang-timbang, sepertinya keadaan Parot sudah membaik dan sangat
memungkinkan untuk melanjutkan pendakian. Dan ya, Parot pun berubah pikiran,
dan ikut melanjutkan pendakian.
Setelah melihat kejadian di Pos 1 dan Pos 2, kami merubah
rencana awal yang hendak bermalam di Pos 5. Akhirnya kami memutuskan agar mencari tempat untuk mendirikan tenda di sekitar Pos 3. Namun ketika sampai di
Pos 3, tidak memungkinkan untuk kami mendirikan tenda disana. Akhirnya kami
beralih ke Pos 4, sambil berharap tidak terjadi apa-apa pada Anggi dan Parot atau kawan-kawan yang lain. Jarak dari
Pos 3 menuju Pos 4 cukup jauh—kurang lebih 2 jam. Trek menuju Pos 4 juga cukup
melelahkan. Di Pos 4, kami mendapatkan tempat yang cukup strategis untuk mendirikan
tenda—di antara pepohonan kecil yang mampu melindungi kami dari hembusan angin
malam.
Ketika semuanya sudah masuk ke dalam tenda, Alif—yang
sedikit mengalami masalah pada kakinya, langsung diberi pertolongan. Juga Parot
yang bermasalah pada pernafasanya. Setelah selesai makan malam dan ngopi-ngopi
serta menikmati malam dalam tenda dengan beberapa makanan ringan, Alif dan
Parot sudah terlihat fit kembali, dan siap menuju ke puncak esok. Kami pun
terlelap.
Di tengah malam, Boncu (yang satu tenda dengan
Alif), mendengar suara orang menggigil yang ternyata adalah Alif. Tanpa pikir
panjang, Boncu langsung menyalakan kompor dan merebus air. Tidur mereka pun
harus terusik di tengah malam. Mereka pun kembali menikmati malam—kali ini
sambil ditemani wedang jahe hangat. Drama tengah malam teratasi dengan baik.
Keesokan harinya kami tidak menargetkan akan
berangkat pukul berapa. Karena menengok kondisi kawan kami yang kurang baik. Di
Pos 4 kami menikmati sarapan lebih lama dari biasanya. Memasak nasi, lauk pauk,
membuat roti bakar, sosis bakar, dan masih banyak logistik yang kami habiskan
disana. Setelah menikmati sarapan, bertemankan hangat sinar mentari, kondisi
fisik kami semakin membaik. Ditambah lagi kami cukup lama bersantai-santai di
Pos 4. Setelah jam menunjukan pukul 09.00 (kurang lebih), barulah kami
melanjutkan perjalanan. Tidak ketinggalan Alif dan Parot.
Trek dari Pos 4 menuju ke Pos 5 cukup bersahabat.
Jarak dari Pos 4 ke Pos 5 juga tidak terlalu jauh—sekitar 30 menit. Karena kali
ini kami berjalan di siang hari, udara tidak terlalu dingin. Setelah sampai di
Pos 5, tanpa berhenti untuk beristirahat, kami langsung menuju ke Sendang Drajat. Terdapat sebuah sumber air dan
Petilasan (begitu masyarakat setempat menyebutnya) di Sendang Drajat, yang katanya sebagai tempat
ritual. Dan kalau dilihat-lihat, Sendang Drajat adalah tempat yang sangat nyaman untuk mendirikan tenda. Terdapat sebuah sabana yang cukup luas serta tanah di
sekitar Sendang Drajat juga rata. Ditambah lagi terdapat pepohonan dan
tebing-tebing kecil untuk menghadang laju angin yang dapat membahayakan tenda.
Dari Sendang Drajat kami menuju puncak Hargo Dumilah
yang berada pada ketinggian 3265 Mdpl. Sebenarnya ada satu puncak lagi di
gunung Lawu, yaitu puncak Hargo Dalem (3170 Mdpl). Di puncak Hargo Dalem
terdapat sebuah warung yang diklaim warung tertinggi se-Indonesia, yaitu warung
Mbok Yem. Sebenarnya kami ingin mampir terlebih dahulu ke warung tersebut.
Namun untuk menuju ke sana, harus melewati jalur yang lebih jauh. Sebenarnya
trek dari Sendang Drajat menuju ke puncak (Hargo Dumilah maupun Hargo Dalem)
tidaklah terjal. Tapi hanya saja, rute untuk menuju ke Hargo Dalem dan kemudian
ke Hargo Dumilah cukup jauh. Sehingga kami memutuskan untuk memotong jalur, dan
langsung menuju Hargo Dumilah (puncak tertinggi gunung Lawu). Kami mengingat
kondisi kelompok kami tidaklah benar-benar fit. Beban kami tidak lah lebih ringan
ketika menuju ke puncak. Sebab kami masih harus membawa barang-barang kami ikut
ke puncak. Karena rute kami turun, berbeda dengan rute kami naik.
Pukul 11.30 kami tiba di puncak Hargo Dumilah. Cuaca
sangat cerah. Hangat mentari tidak mampu mengalahkan udara dingin di Hargo
Dumilah kala itu. Kami harus tetap memakai jaket dan sarung tangan agar tidak
kedinginan. Ternyata gunung Lawu sedingin ini saat bulan Juli. Dan…waktunya
foto-foto. Seperti para pendaki kebanyakan—yang berfoto-foto ketika tiba di puncak
gunung. Setelah berfoto-foto, dan beristirahat sejenak, kami melanjutkan
perjalanan untuk turun. Untuk turun, kami melalui jalur Cemoro Kandang—yang
arahnya berlawanan dengan jalur Cemoro Sewu. Walaupun arah jalurnya berlawanan,
basecamp kedua jalur tersebut tidak begitu jauh. Basecamp keduanya sama-sama
berada di tepi jalan raya Tawangmangu-Magetan.
Jalur Cemoro Kandang juga tidak jauh beda dari
Cemoro Sewu. Hutan lebat denga trek yang tidak terlalu curam mengihasi jalur
pendakian. Jalur Cemoro Kandang lebih sepi jika dibandingkan dengan Cemoro
Sewu. Dan ketika kami tiba di Pos 4 jalur Cemoro Kandang, kami memutuskan untuk
memasak makan siang, sembari beristirahat (sebenernya nggak makan siang sih,
karena sudah jam 3 sore waktu itu). Kami pun menyantap roti bakar, mie instan,
dan susu hangat sambil menikmati sejuknya gunung Lawu. Amat tenang sekali. Kami
juga sempat terlelap disitu.
Setelah selesai bersantai-santai, kami melanjutkan
perjalanan turun. Kami berjalan sedikit cepat kala itu. Karena kami tidak mau
udara dingin (ketika malam) menciptakan drama-drama kecil yang berpotensi
menyebabkan bahaya. Namun udara tidak sedingin kemarin. Langit terlihat begitu
bersih—tidak ada awan atau kabut sedikitpun. Karena hari mulai gelap, kami
tidak berhenti terlalu lama. Kami terus berjalan, dengan harapan cepat tiba di
basecamp dan dapat beristirahat.
Kurang lebih pukul 21.00, kami tiba di basecamp
Cemoro Kandang. Area basecamp Cemoro Kandang lebih luas daripada Cemoro
Sewu—tapi tidak lebih ramai. Kami beristirahat sejenak di basecamp Cemoro
Kandang. Dari Cemoro Kandang, kami menuju basecamp Cemoro Sewu dengan berjalan
kaki—karena tidak terlalu jauh. Sesampainya di basecamp Cemoro Sewu, kami
langsung meletakan tas yang sejak kemarin berada di punggung. Tidak ada siapa
pun selain kami dan petugas basecamp di basecamp Cemoro Sewu. Kami pun
membersihkan diri dan makan malam, kemudian bersiap untuk terlelap. Basecamp
dipenuhi oleh anak-anak Cemara Miring, tidak ada siapa pun selain kami.
Ketika pagi tiba, kami kembali berkemas untuk pulang
ke kota asal kami—Purwodadi, Grobogan. Walaupun wacana halal bihalal di gunung
Lawu tidak berjalan seperti yang direncanakan—karena ada drama-drama kecil,
namun pedakian kali cukup merekatkan tali kekeluargaan antar keluarga Cemara
Miring. Walau kedua kawan kami sempat putus asa untuk sampai ke puncak
bersama-sama, kami saling memberikan dukungan agar kawan kami kembali kuat.
Setelah sekian lama tidak saling bertemu, ternyata kami masih kompak (hehehe).
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny