Langsung ke konten utama

Pendakian Gunung Sindoro - Lari dari Rutinitas



Jakarta, kota metropolitan yang identik dengan kemacetan. Dan Jakarta menjadi tempat singgahku untuk berkarya dan menuntut ilmu. Pekerjaan dan perkuliahan sudah lebih dari cukup untuk membuat raga dan jiwa ku lelah. Hingga aku tiba pada suatu senja. Sepulang kerja—di kamar indekos berukuran 5x3 meter, aku melihat sebuah kalender yang tergantung untuk mengecek jadwal kerjaku. Kemudian, di bulan April, aku melihat sebuah angka berwarna merah, yang berdekatan dengan hari Sabtu. Seketika itu juga pikiranku tidak lagi terfokus pada pekerjaan. Dalam benak terbayang sebuah suasana yang menenangkan, menikmati kopi bersama tawa teman-teman.

Tanpa pikir panjang, aku menghubungi seorang kawan yang tinggal di kota Purwodadi, Jawa Tengah. “Bang, tanggal 14 April ada long weekend bang”. Kataku kepada Bang Yut, seorang kawan yang hobi mendaki gunung. Bang Yut pun tahu apa maksud perkataanku. Ia langsung menyambut dengan ajakan untuk mendaki gunung. Dan gunung Sindoro pun menjadi persinggahan kami.
            
Di tengah kebisingan hati yang sudah tidak sabar ingin menepi ini, aku mempersiapkan perjalanan ku untuk mendaki gunung Sindoro yang terletak di Jawa Tengah, dengan Temanggung sebagai kota terdekat. Ada beberapa jalur pendakian yang dapat dilalui untuk mencapai puncak gunung Sindoro yang berada pada ketinggian 3153 meter di atas permukaan laut (mdpl). Jalur yang paling populer di kalangan pendaki (katanya) adalah jalur Kledung, desa Kledung dan jalur Sikatok, desa Sigedang. Dan kami milih jalur Kledung, karena menurut saran Bang Yut dan satu kawan lagi yang mau ikut serta dalam pendakian ini—yaitu Ngek (yang sudah pernah mendaki kesana), jalur Kledung lebih mudah dijangkau karena basecamp pendakiannya hanya berjarak beberapa meter dari jalan raya Wonosobo-Temanggung.
           
Dan karena kota Temanggung maupun Wonosobo tidak memiliki stasiun kereta, aku memutuskan untuk menggunakan bus. Aku pun menuju terminal Lebak Bulus, Jakarta untuk membeli tiket bus jurusan Jakarta-Wonosobo. Dengan tiket seharga Rp 95.000, aku mendapatkan bus yang cukup nyaman, dengan tempat duduk baru dan AC. Kamis sore sepulang kerja aku berangkat dari terminal Lebak Bulus dengan membawa tas keril yang sudah aku persiapkan semalam sebelumnya.
            
Perjalanan dari Jakarta menuju Wonosobo cukup membosankan. Jalanan macet parah. Mungkin karena long weekend. Dan mungkin semua orang ingin menepi dan keluar dari Jakarta yang sudah penuh sesak ini. Perkiraanku, Jakarta-Wonosobo bisa ditempuh dalam waktu 12 jam. Dengan kata lain, pukul 6 pagi aku sudah tiba di terminal Wonosobo (harusnya). Dan kami sudah janjian bertemu di basecamp Kledung pukul 8 pagi (paling lambat). Eh malah, ternyata kondisi lalu lintas waktu itu sangat-sangat tidak kondusif. 17 jam aku berada di dalam bus (begitu bosannya). Sedangkan Bang Yut dan Ngek serta ada lagi dua teman mereka yang ingin ikut juga, sudah berangkat dari Purwudadi siang tadi, dengan menggunakan sepeda motor, dan bermalam di basecamp.
            
Pukul 11 siang, aku tiba di terminal Wonosobo (aku lupa nama terminalnya). Untuk menuju Kledung, aku harus naik bus lagi, jurusan Semarang atau jurusan Temanggung. Di terminal, aku bertemu kelompok pendaki dari Bandung, yang ingin mendaki gunung Sumbing melalui jalur Garung. Karena searah, kami pun mencari bus. Tidak lama, kami pun mendapat bus jurusan Temanggung. Lalu lintas Wonosobo sangat lancar waktu itu. Hanya butuh waktu 35 menit (kurang lebih) aku sudah sampai di depan gapura desa Kledung. Dan ternyata basecamp pendakian Kledung benar-benar dekat dari jalan raya. Seturun dari bus, aku sudah bisa melihat bangunan leter L dengan halaman yang lumayan luas untuk tempat parkir, bertulisakan “Basecamp”.
           
Disitu aku bertemu Bang Yut dan Ngek. Kemudian aku dikenalkan dengan Siti dan Jon (teman Bang Yut). Sebelum memulai pendakian, kami ngobrol ngalor-ngidul dan membeli makanan untuk makan siang, serta membeli air untuk bekal pendakian. Karena tidak terdapat mata air di sepanjang jalur pendakian gunung Sindoro via Kledung. Setelah perut kenyang, perlengkapan dan logistik juga sudah tertata rapi di dalam keril kami masing-masing, kami berjalan keluar basecamp untuk mengisi Simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) dan kemudian memulai pendakian saat jam menunjukan pukul 13.30.

Selepas dari basecamp, kami berjalanan melewati kampung dan kebun warga—sebelum masuk hutan. Sebenarnya, dari basecamp banyak mas-mas yang menawarkan ojek sampai ke pos 1 (kalau tidak salah), namun kami tidak tertarik. Cuaca mendung kala itu. Dan sebelum kami memasuki kawasan hutan (masih di kebun warga), hujan pun menyapa kami. Walau hanya gerimis sedang. Namun bisa membuat kami basah jika tidak memakai jas hujan. Sesampainya di Pos 1, hujan pun sudah mulai reda. Kami pun memutuskan untuk beristirahat sejenak, sembari melepas jas hujan. Sindoro terlihat begitu sejuk kala itu.

 Setelah duduk dan saling lempar tawa, kami melanjutkan perjalanan. Kami berjalanan dengan santai. Menikmati setiap yang kami lewati, berjalan dengan penuh canda. Kami sangat jarang memperkirakan waktu atau jarak dari Pos ke Pos. Dan aku juga lupa berapa lama waktu yang kami butuhkan untuk sampai ke Pos 2. Jarak Pos 1 ke Pos 2 lebih jauh dari jarak basecamp menuju Pos 1. Bedanya, jalur dari Pos 1 ke Pos 2 adalah jalur hutan yang didominasi tanah yang cukup licin karena hujan. Sesekali kita juga dapat menemuai jalur bebatuan yang cukup licin juga dan cukup menguras tenaga untuk melaluinya.
            
Mulai dari Pos 2, hujan kembali turun. Kali ini lebih deras. Jalur pendakian pun seketika menjadi aliran air yang sangat licin. Kami terus di temani hujan hingga mendekati Pos 3—Pos yang akan kami gunakan untuk tempat mendirikan tenda. Berjalan ditengah guyuran hujan sangat melelahkan. Apalagi jika fisik kita atau salah satu dari kelompok kita kurang fit, itu bisa menjadi masalah yang serius. Waktu itu, saat hujan yang begitu deras mengguyur kami, kami (Aku dan Ngek) sempat berfikir untuk berhenti dan mendirikan tenda untuk berteduh. Karena ada satu perempuan (Siti) dalam kelompok kami. Namun hal itu malah tidak diamini oleh Siti. “Lanjut! Gas terus!” seru Siti, menegaskan bahwa dia masih kuat untuk terus berjalan ditengah guyuran hujan.
            
Setelah kami hampir sampai di Pos 3, hujan pun reda. Kami pun kembali berhenti untuk melepas jas hujan. Namun, kali ini kami tidak bisa terlalu lama berhenti. Dengan kondisi badan yang basah, kami bisa saja kedinginan bahkan hipotermia. Seusai melepas jas hujan, kami kembali berjalan. Dengan harapan masih ada cukup tempat untuk mendirikan tenda. Dan kami sudah harus menggunakan senter untuk menerangi jalan kami, karena hari sudah gelap.
            
Tidak lama kemudian, kami sampai di Pos 3. Namun lahan untuk mendirikan tenda di Pos 3 sangat terbatas. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari tempat sedikit diatas Pos 3. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menyeduh kopi dan kembali gegojekan. Seusai itu, barulah kami melanjutkan perjalanan mencari lahan untuk mendirikan tenda.
            
Akhirnya kami mendapatkan tempat yang cukup nyaman untuk mendirikan tenda, tidak jauh dari Pos 3. Setelah mendirikan tenda, kami menyalakan kompor dan kembali menyeduh kopi untuk menghangatkan diri. Kami juga memasak makanan untuk mengisi perut, serta mengganti baju yang basah karena hujan tadi. Setelah kami puas menikmati kopi dan malam serta suka cita dalam tenda, kami pun mulai memejamkan mata. Karena pagi-pagi sekali (pukul 3) kami akan memulai perjalanan menuju ke puncak. Karena menurut pendaki-pendaki yang kami temui disepanjang jalur pendakian, jika kita di puncak lebih dari pukul 9 pagi, asap belerang sudah menyebar, dan itu berbahaya.

Tetapi…bangun pagi di gunung itu adalah mitos. Kami pun baru bangun pukul 04.30, dan baru memulai pendakian pukul 5 pagi. Jalur yang kami lalui dari tempat kami mendirikan tenda sampai ke puncak, lebih terjal dan didominasi bebatuan. Bahkan selepas dari Pos 4, sudah tidak ada tumbuhan yang tumbuh disana. Gersang. Karena gunung Sindoro merupakan gunung berapi yang masih aktif. Sehingga hanya ada batu dan beberap tumbuhan kering di sekitar kawah.

Dengan disuguhi pemandangan gunung Sumbing diseberang, kami berjalan dengan perlahan. Sesekali berhenti untuk mengambil foto dengan latar belakang pemandangan gunung Sumbing (tidak ada salahnya). Dan… kami baru tiba di puncak pukul 09.00 pagi. Namun kami cukup beruntung kala itu. Semesta begitu bershabat. Asap belerang (yang berasal dari kawah) biasa sudah menyebar dibawa angin ke arah jalur pendakian, tapi hari itu tidak. Angin begitu tenang. Langit yang kemarin mendung gelap gulita, pagi itu begitu cerah, terang benderang.

 Seperti pendaki pada umumnya, kami langsung mencari tempat yang kami anggap bagus untuk foto-foto. Setelah puas berfoto, kami pun beristirahat, menikmati roti yang kami bawa, bercengkrama sejenak, kemudian kembali ke tenda untuk packing sebelum kembali ke basecamp.
            
Walau pun semua yang telah kami rencanakan dan kami perhitungkan tidak sesuai yang kami inginkan, kami tetap menikmati apa yang semesta beri. Tidak ada keluh sedikit pun yang terucap dari perjalanan ini. Yang ada hanya sebuah tawa, sebuah canda. Karena masing-masing dari kami sudah menyamakan visi untuk menepi dari rutinitas kami masing-masing untuk bersenang-senang.
           

Komentar

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini