Desember
2013, untuk pertama kalinya kami (Andre, Boncu, Aan, Oki, Appe) melakukan
pendakian. Gunung Merbabu, yang terletak di Jawa Tengah menjadi tujuan kami.
Bermodalkan pengetahuan mendaki gunung melalui internet, serta perlatan mendaki
gunung yang kami pinjam dari seorang kawan yang biasa kami sapa Mas Kris. Kami
mantab untuk mendaki gunung Merbabu melalui jalur Cunthel, Kopeng, Salatiga.
Satu
malam sebelum hari H pendakian tiba, kami membeli segala logistik yang
dibutuhkan untuk mendaki nanti. Keranjang belanjaan kami penuh dengan camilan
serta makanan-makanan kaleng. Tidak lupa mie instan dan kopi—itu wajib. Kami
tidak sabar menanti hari esok. Bahkan Aan langsung membeli tas keril baru. O
iya, jauh sebelum hari pendakian yang telah kami sepakati bersama tiba, kami
juga mengajak kawan-kawan kami yang lain. Tetapi hanya kami yang bisa ke
Merbabu. Dengan bergagai alasan, mereka tidak dapat mengiya kan ajakan kami
kala itu.
Keesokan
harinya—pagi-pagi sekali, kami berlima berkumpul di rumah Appe. Disitu kami
sarapan terlebih dahulu sebelum seorang kawan mengantarkan kami menuju terminal
kota Purwodadi, Jawa Tengah. Dari terminal, kami naik bus jurusan Solo. Dalam
perjalanan dari Purwodadi menuju Solo, Aan mengalami mabuk kendaraan karena
keadaan bus yang penuh sesak, sehingga kami kebagian tempat duduk paling
belakang. Sesampai di terminal Tirtonadi, Solo, kami langsung membelikan Aan
obat anti mabuk kendaraan serta beberapa minuman isotonic serta beristirahat
sejenak di terminal Tirtonadi yang cukup nyaman.
Dari
Solo, kami menaiki bus jurusan Solo-Salatiga, dan turun di Pasar Sapi,
Salatiga. Karena sudah siang dan kebetulan kami belum makan siang, kami mampir
untuk makan siang di sebuah warung tegal. Cuaca sedang tidak bersahabat kala
itu. Hujan deras disertai angin kencang dan petir selalu menghiasi kota
Salatiga akhir-akhir itu, terang ibu-ibu penjual makanan di warteg tempat kami
makan. Ia juga memperingatkan kami untuk berhati-hati jika ingin mendaki
gunung, karena cuaca buruk.
Selesai
makan, kami melanjutkan perjalanan menuju Cunthel dengan naik bus kecil jurusan
Kopeng. Bus yang kami tumpangi lumayan sepi. Masih terlihat beberapa bangku
penumpang yang kosong. Kami pun banyak membicarakan hal yang menarik ketika
berada di Merbabu nanti, serta sesekali tertawa lepas karena candaan yang
saling kami lontarkan. Kami juga membicarakan, pasti akan lebih “gila” jika
kawan-kawan kami yang lain dapat ikut pendakian ini. Seketika itu juga,
tercetus sebuah ide dari mulut Andre, “Bagaimana nanti kita racuni anak-anak
(agar suka dengan kegiatan mendaki gunung) dengan membuat komunitas pencinta
alam”. Kami pun sepaham.
Tidak
lama kemudian, kami sampai di tempat pemberhentian kami—yaitu, gapura Umbul
Songo, Kopeng. Terdapat warung kecil di sebelah kanan gapura dan tempat
penyewaan perlengkapan mendaki di sebelah kiri gapura. Kami pun mampir di
warung kecil sebelah kanan. Disitu kami memesan teh manis hangat untuk
menghangatkan badan karena cuaca masih hujan. Sembari menghangatkan badan, kami
juga mempacking ulang perlengkapan kami. Setelah semua siap, kami memulai
berjalan dari situ—dari gapura Umbul Songo.
Hujan
masih belum juga reda. Namun kami masih bersemangat untuk berjalan dan
menemukan Pos 1. Belum lama kami meninggalkan gapura Umbul Songo, terlihat gapura
lain yang bertuliskan Jalur Pendakian Cunthel. Semangat kami lebih terpacu
melihat itu. Di tengah guyuran hujan, kami terus berjalan di jalanan aspal.
Jalanan sepi kala itu. Mungkin karena cuaca buruk.
Ditengah
perjalanan, wacana untuk membuat komunias pencinta alam menjadi tema
perbincangan kami. Kami memikirakan akan diberi nama apa komunitas kami ini.
“Fucus
Pencinta Alam?”
“Rangers
Pencinta Alam?”
“Kawan
Pencinta Alam?”
Ahhh…
entahlah. Berbagai macam nama untuk komunitas pecinta alam kami selalu terselip
disela candaan kami.
Kala
itu hari semakin gelap dan hujan masih tetap saja mengguyur kami, hingga kami
tiba di suatu tempat (gardu pandang Cunthel) yang kami kira Pos 1. Jam
menunjukan pukul 17.30 kala itu. Kami pun beristirahat sejenak disitu. Setelah
adzan mahgrib selesai berkumandang, kami melanjutkan perjalanan. Kami masih
berjalan di jalanan aspal yang kami kira itu adalah jalur pendakian gunung
merbabu. Namun kemudian kami menemukan sebuah gapura desa Cunthel dan tidak
jauh dari situ terdapat basecamp Manggala (basecamp pendakian jalur Cunthel).
“Lah,
kita baru sampai basecamp?” cetus Oki.
Setelah
kami dengan penuh semangat berjalan di tengah guyuran hujan, kami baru tiba di
basecamp pendakian. Ternyata pendakian yang sesungguhnya belumlah dimulai
(bodohnya kami).
Karena
tenaga kami sudah cukup terkuras, kami memutuskan untuk bermalam di basecamp.
Kala itu basecamp Manggala, Cunthel cukup ramai oleh para pendaki yang turun.
Terlihat dari baju dan tas keril nya yang basah kuyup dan kotor. Setelah
meletakan tas dan melepas jas hujan, kami mengisi Simaksi.
“Naik
besok aja ya mas” terang mas Panjul (petugas basecamp kala itu).
“Cuacanya
lagi nggak bersahabat” lanjutnya.
Kami
pun iya-iya saja, karena kami memang berencana untuk melanjutkan berjalanan
besok pagi-pagi sekali.
Di
basecamp, kami kembali membicarakan tentang wacana untuk membentuk komunitas
pecinta alam, untuk meracuni kawan-kawan (khususnya kawan se-tongkrongan kami)
untuk mau diajak mendaki gunung.
Seusai
mandi dan makan malam, kami langsung masuk ke dalam kantong tidur karena
kedinginan. Kami sempat terkejut ketika mandi di basecamp. Kami tidak pernah
mandi dengan air sedingin itu. Hujan serta angin kencang terdengar dari dalam
basecamp sepanjang malam. Hingga kami terlelap.
Pukul
3 pagi kami terbangun. Dan ruangan basecamp Nampak berbeda dari tadi malam. Basecamp
sudah penuh sesak oleh para pendaki, bahkan sampai ada yang tidur di dapur. Kata
mas Panjul, banyak pendaki yang memilih turun dan tidak melanjutkan perjalanan
hingga ke puncak. Cuaca buruk sebabnya. Mereka yang turun tidak mau mengambil
resiko. Mendengar hal itu, Aan agak sedikit ragu untuk melanjutkan pendakian. Ia
meminta kami untuk memikirkan hal-hal buruk yang bisa menimpa kami. Kata mas
Panjul juga, semalam ada juga yang dievakuasi ke Puskesmas terdekat karena
gejala hipotermia. Namun kami tetap teguh ingin mencoba mendaki gunung Merbabu,
walaupun pengetahuan mendaki gunung kami sangat minim waktu itu.
Kami
memutuskan untuk menunggu, setidaknya hingga matahari muncul, dan badai mereda.
Belum juga matahari menampakan diri, badai sudah pergi kala jam menunjukan
pukul 5 pagi. Saat tahu badai sudah reda, Andre dan Boncu langsung mengajak
bersiap dan bergegas untuk mendaki. Appe dan Oki dengan semangat menggendong
tas kerilnya. Namun sepertinya Aan masih belum mantab. Kami berlima pun
berjalan keluar basecamp. Dan ternyata cuaca yang semalam berantakan, pagi itu
berubah cerah. Langit bersih, dan kami masih bisa melihat bulan yang mulai
meredup. Melihat semesta pagi itu, rasa ragu dan takut Aan saat mendengar
cerita dari mas Panjul tentang apa yang terjadi semalam, mulai terlupakan. Kami
pun dengan mantab memulai pendakian.
Belum
lama kami meninggalkan basecamp, kami beristirahat di dekat perkebunan warga.
Sambil menikmati pagi, kami membicarakan kembali wacana tentang komunitas
pecinta alam. Kami masih memikirkan nama. Tidak lama, kami mulai berjalan. Pohon pinus di sisi kanan dan kiri menghiasi jalur pendakian. Belum sampai di Pos 1,
kabut kembali menghalangi mentari. Kami pun sedikit khawatir kala itu. Jalur pendakian
kala itu juga sangat basah dan licin karena diguyur hujan kemarin.
Sekitar
45 menit berjalan dari basecamp, kami tiba di sebuah bangunan (seperti pos
ronda) yang bertuliskan Pos Bayangan 1. Kami tiba di Pos Bayangan 1. Di situ
kami beristirahat. Namun mulai dari situ, semesta kembali tidak bersahabat. Rintik hujan mulai kembali kami rasakan. Tidak pikir panjang, kami langsung
memakai jas hujan, dan melanjutkan pendakian.
Baru
beberapa menit kami meninggalkan Pos Bayangan 1, hujan deras mengguyur kami. Semangat
mendaki Aan pun perlahan meredup. Sekitar 1 jam, kami tiba di Pos Bayangan 2. Namun
hujan tidak kunjung mereda. Kami tidak berhenti disitu, karena hujan. Kami terus
berjalan walau perlahan. Belum jauh dari Pos Bayangan 2, kepala kami mulai
pusing. Dan kebetulan hujan pun reda. Kami pun memutuskan berhenti dan memasak
mie instan. Belum juga selesai kami memasak mie instan, hujan kembali turun. Waktu
itu kami sangat kebingungan, cuaca di gunung dapat berubah dengan seketika. Kami
memutuskan mendirikan tenda di dekat tempat kami memasak tadi (walaupun di
lahan yang miring). Setidaknya hingga kami selesai makan dan beristirahat
sejenak.
Sembari
beristirahat, kami pun mengisi perut dengan mie instan dan sedikit nasi yang
kami bawa dari basecamp. Sembari juga berteduh dari hujan yang semakin lebat. Saat
perut kami sudah terisi dan cukup kenyang, hujan belum juga reda. Dan kami
memutuskan untuk menunggu hujan reda. Di dalam tenda, kami berdiskusi.
“Gimana
ni lanjut atau nggak?”
“Kita
tunggu dulu, setidaknya sebelum hari mulai gelap”
“Kalau
cuaca masih belum membaik, kita turun”
Ditengah
kami berdiskusi, terlihat ada kelompok pendaki yang turun. Kami pun bertanya
kepada mereka, bagaimana cuaca diatas.
“Diatas
badai mas. Tenda kami rusak kena badai”
Mendengar
hal itu, Aan langsung memutuskan untuk mengajak turun dan tidak melanjutkan
pendakian. Namun Andre masih ingin melanjutkan. Saat itu, Boncu pun menjadi penengah
dan memutuskan untuk kembali turun. Karena cuaca yang buruk dan bisa berubah
dengan cepat, ditambah lagi pengetahuan kami tentang mendaki gunung masih
minim. Membuat kami tidak jauh dari bahaya dalam keadaan seperti itu.
Kami
tidak menunggu hujan reda, kami langsung mempacking tenda dan bergegas turun. Tidak
ada penyesalan kami masih menikmati semuanya. Saat kembali tiba di Pos Bayangan
2, hujan mulai reda. Dan Andre mengajak untuk naik lagi (dengan nada bercanda).
Namun Aan, Appe, Oki, dan Boncu sudah mantab untuk turun. Hari masih cukup pagi
ketika kami mulai berjalan kembali ke basecamp. Namun langit tidak menunjukan
sebuah suasana pagi yang indah. Saat kami baru sampai di Pos Bayangan 1 dan
beristirahat sejenak disitu, kami melihat beberapa petugas dari basecamp
berjalan naik. Kami pun bertanya kepada salah satu dari mereka. “Ada apa?”.
Ternyata
ada pendaki yang harus dievakuasi (lagi). Wow, semesta memang benar-benar
sedang tidak bersahabat kala itu.
Sekitar
pukul 12 siang, kami pun tiba di basecamp. Basecamp sangat penuh, lebih penuh
dari semalam. Kami memutuskan beristirahat di sebuah pos kampling di depan
basecamp. Kabut semakin tebal siang itu. Namun hujan sudah sedikit mereda. Sambil
menikmati penthol hangat yang kami beli tidak jauh dari tempat kami
beristirahat, kami kembali membahas tentang nama komunitas pecinta alam yang
hendak kami bentuk.
Saat
itu Andre sadar akan sesuatu hal. Disepanjang jalur pendakian yang kita lewati
tadi, terdapat banyak pohon pinus yang teduh. Pohon-pohon pinus itu tumbuh
diatas tanah pegunungan yang berkontur miring. Kemudian tercetuslah nama “Cemara
Miring”. Karena nggak lucu dong kalo “Pinus Miring”. Ya kale pinus miring. Kami
pun setuju membentuk komunitas pecinta alam Cemara Miring.
Melalui
sebuah pendakian yang penuh dengan drama, anak-anak tanpa pengetahuan ini nekat
menantang perkasanya gunung Merbabu. Walaupun belum diizinkan untuk sampai ke
puncak, pendakian kala itu cukup menyenangkan. Berjalan kaki dari gapura Umbul
Songo dan berakhir di Pos Bayangan 2. Lumayan. Yang terpenting kami dapat
pulang dengan selamat. Namun setelah beristirahat di basecamp, kami tidak
langsung pulang ke Purwodadi. Karena sudah terlalu sore, dan cuaca juga kembali
buruk, kami memutuskan untuk mencari penginapan di dekat Umbul Songo.
Dari
basecamp kami kembali berjalan kaki menuju gapura Umbul Songo. Tenaga kami
sudah sangat terkuras karena di terpa cuaca yang buruk di pendakian perdana
kami. Beruntungnya, tidak jauh dari gardu pandang desa Cunthel, ada mobil colt
yang sedang mengangkut kayu bakar dan hendak turun kearah Umbul Songo. Kami (kecuali
Aan) diperbolehkan menumpang. Saat itu Aan sudah jauh di depan. Dan keterlaluanya
kami hanya melambaikan tangan dari atas mobil bak terbuka saat bertemu dia (kasihan).
Sesampai
di gapura Umbul Songo, kami langsung mencari tempat menginap. Dan kami dapat
tidak jauh dari warung kecil yang kami gunakan untuk packing sebelum mendaki. Hanya
dengan Rp 75.000 kami mendapatkan satu kamar yang dapat ditempati oleh 5 orang.
Hanya ada kasur dan tempat tidur kayu di kamar itu. Kamar yang kurang lebih
berukuran 6x4 meter itu berlantai karpet dan tanpa jendela. Kami juga bebas
memakai kamar mandi. Pemilik rumah juga cukup ramah—menunjukan pukul berapa
saja bus-bus jurusan Kopeng-Salatiga melintas.
Keesokan
harinya, pukul 9 pagi, kami meninggalkan penginapan untuk kembali ke kota asal
kami, Purwodadi. Dengan membawa nama Cemara Miring, kami kembali ke tongkrongan
dan siap menebar racun. Selamat menikmati racun yang menyenangkan kawan-kawan.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny