Langsung ke konten utama

Pendakian Gunung Merbabu - Merbabu Penawar Rindu


Merbabu, lagi-lagi Merbabu. Gunung Merbabu, Jawa Tengah adalah gunung yang membuat kami menyukai kegiatan mendaki gunung. Tidak hanya itu, gunung Merbabu juga merupakan latar belakang terbentuknya komunitas pecinta alam Cemara Miring pada tahun 2013. Dan kali ini kami temu kangen dengan Merbabu. Setelah sekian lama kami menyibukan diri dengan rutinitas, dan sangat jarang menepi di tengah tenangnya semesta. Kami kembali menapaki jalur pendakian Merbabu. Kali ini melalui jalur Selo, Boyolali, Jawa Tengah.


Kami berencana untuk mengajak teman-teman Cemara Miring sebanyak mungkin agar rasa rindu ini terbayar tuntas. Tapi apa daya, situasi dan kondisi sudah berbeda sejak terakhir kali kami mendaki gunung bersama. Sekarang kawan-kawan sudah lebih sibuk dengan rutinitas masing-masing. Sekolah, bekerja (merantau), mengurus anak, dilarang suami, macam-macam lah kesibukannya.

Akhirnya hanya 4 orang yang bisa berangkat ke Selo. Andre, Appe, Ngek dan Pendi. Bagi Pendi, ini adalah pendakian pertamanya. 4 orang, 3 sepeda motor. Kami berangkat dari Purwodadi, Grobogan menuju Selo, Boyolali. Perjalanan kami sedikit santai kala itu. Karena Andre mengendarai Vespa tua tahun 75, yang sulit untuk di paksa melaju kencang. Saat sampai di jalanan dengan hutan di kanan kirinya, di daerah Tuntang, kami beristirahat sejenak. Sebenarnya kami belumlah lelah, tetapi kami ingin saja berhenti ketika melihat sebuah tempat yang sedikit lapang dan begitu teduh. “Ngaso dulu lur”.
Tidak lama kemudian, kami melanjutkan perjalanan sembari mencari mini market (untuk membeli logistik) dan warung makan (untuk makan siang) di daerah kota Salatiga. Kurang lebih sekitar 2 jam, kami tiba di kota Salatiga. Dan tidak jauh dari pasar Salatiga (entah pasar apa namanya), kami menemukan mini market yang bersebelahan dengan warung soto. “Pas, mantab!”. Kami lumayan lama berada di warung soto tersebut. Makan,ngobrol ngalor-ngidul, santai sekali pokoknya.

Karena langit mulai berwarna abu-abu, kami bergegas melanjutkan perjalanan. Sebelum hujan turun, kami harus sudah tiba di basecamp. Vespa tua yang dikendarai Andre sedikit tersendat ketika melaju di jalan menanjak dan berkelok-kelok di daerah Cepogo hingga Selo. Akhirnya—mau tidak mau, kami harus berjalan lebih pelan dari sebelumnya. Bahkan ketika hampir sampai di gapura desa terakhir jalur Selo, Appe harus turun dan mendorong Vespa agar mampu berjalan naik. Namun walau melalui perjuangan yang epik, Vespa tua bercat biru yang dibawa Andre mampu sampai di basecamp juga.

Setelah kami memarkir kendaraan kami di basecamp, hujan langsung turun membasahi bumi. Semesta memang sedang berpihak kepada kami kala itu. Kami pun kembali bersantai-santai di basecamp. Makan, cuci muka, dan packing ulang, sambil menunggu hujan reda. Jam menunjukan pukul 15.00 saat kami tiba di basecamp. Dan sekitar satu jam kami menunggu hujan reda.

Setelah hujan reda, kami langsung memulai pendakian kami. Sebelumnya kami sudah mengisi Simaksi tentunya. Jalur Selo cukup sepi kala itu. Sewaktu senja, selepas hujan, kami berjalan santai menuju puncak Merbabu. Namun sebelum ke puncak, target kami adalah mendirikan tenda dan bermalam di Sabana 2. Tidak ada masalah yang berarti di awal pendakian kami. Cuaca yang tadi hujan, menjadi cerah terang benderang. Sinar matahari senja pun mengintip dari celah-celah hutan Merbabu.

Jalur Selo juga cenderung landai. Dari basecamp hingga Pos 3 tidak ada tanjakan terjal yang menyiksa lutut. Hari sudah gelap ketika kami tiba di Pos 3. Cuaca juga sudah berubah. Kabut mulai turun, dan angin berhembus cukup kencang kala itu. Kami pun bertanya kepada Pendi, “Gimana Pen? Lanjut atau ngecamp disini?”. Karena Pos 3 memang cukup luas dan rata untuk digunakan mendirikan tenda. Namun Pendi masih kuat dan meminta untuk melanjutkan perjalanan menuju Sabana 2 (sesuai rencana awal). Kami pun melanjutkan perjalanan.

Mulai dari Pos 3, cuaca mulai tidak bersahabat. Kabut tebal dan angin kencang, cukup membuat kepala kami pusing dan kedinginan jika berhenti terlalu lama. Trek dari Pos 3 menuju Sabana 1 juga cukup terjal dan cukup menguras tenaga kami. Di tengah perjalanan menuju Sabana 1, Pendi sedikit kelelahan dan meminta untuk beristirahat. Namun saat berhenti, ia pun kedinginan. Kemudian kami pun mencari sebuah celah di jalur pendakian yang bisa kami gunakan untuk bersembunyi dari kencangnya hembusan angin. Karena jika dipaksakan untuk berjalan, kami khawatir Pendi malah mengalami kram/cidera. Karena jalur yang cukup terjal, dan tenaga kami juga sudah terkuras. Setelah cukup beristirahat, kami kembali berjalan naik. Ternyata Sabana 1 tepat berada di atas kami—tidak jauh dari tempat kami beristirahat.

Sesampainya di Sabana 1, kami melihat kelompok pendaki yang kesulitan untuk mendirikan tenda. Mungkin karena angin yang berhembus terlalu kencang atau memang karena pengetahuan mereka tentang mendaki gunung minim (kami juga kurang tahu). Ngek dan Appe pun memutuskan untuk membantu mereka. Tidak lama, tenda pun berdiri sempurna. Setelah itu kami pun langsung kembali berjalan menuju Sabana 2. Karena kami tidak ingin kedinginan karena terlalu lama berhenti. Bahkan kami juga lupa untuk berkenalan dengan kelompok pendaki yang kami bantu tadi.

Trek dari Sabana 1 menuju Sabana 2 tidak beda jauh dengan trek dari Pos 3 menuju Sabana 1. Bedanya, trek menuju Sabana 2 lebih terbuka. Tidak ada pepohonan yang menghadang tiupan angin yang semakin kencang. Badai pun mewarnai perjalanan kami menuju Sabana 2. Tidak jarang tubuh kami dibuat oleng oleh tiupan angin. Mau tidak mau kami harus terus berjalan sampai di Sabana 2. Karena jika berhenti, tentu kami akan kedinginan dan itu bisa berakibat fatal. Jarak pandang kami juga sangat terbatas kala itu. Kabut tebal menyelimuti jalur pendakian.

Setelah melalui drama yang cukup melelahkan, kami tiba di Sabana 2 yang luas dan sepi. Kami hanya melihat (samar-samar) 2 tenda yang berdiri. Kami pun cepat-cepat mendirikan tenda. Setelah tenda berdiri, kami pun bersantai-santai. Masak mie instan, goreng sosis, menyeduh kopi—dan bercanda ria. Terasa damai di dalam tenda. Walau angin kencang masih berhembus di luar tenda.

Setelah cukup lelah untuk tetap terjaga, kami pun terlelap. Dan kami berencana melanjutkan perjalanan menuju puncak pada pukul 4 pagi esok. Sebelum pukul 4, kami pun sudah bangun dan menyeduh kopi sembari memasak mie instan untuk sarapan. Walau pun sedikit, perut kita harus tetap diisi sebelum melanjutkan perjalanan. Tetapi pagi itu semesta belum juga mereda. Angin masih juga berhembus kencang, di temani kabut yang sangat tebal—cukup tebal untuk membuat basah dinding tenda kami. Kami pun memutuskan untuk menunggu hingga semesta mereda.

Setelah jam menunjukan pukul 05.00, kami mulai meninggalkan tenda, berjalanan naik menuju puncak—dengan membawa satu atas yang berisi kompor, telur, roti, dan beberapa camilan. Perlahan kabut pun mulai hilang. Namun angin masih cukup kencang. Trek masih sama terjalnya. Angin kencang dan kabut tebal kembali berkolaborasi, membuat pusing kepala kami saat kami berada di Pos 6 (Watu Lumpang). Namun kali ini tidak lama. Pukul 06.30, angin mulai berhembus tenang, kabut juga perlahan pergi, dan cahaya mentari perlahan mulai mengintip dari balik kabut. Sedikit demi sedikit kabut hilang dan mentari pun menampkan dirinya dan memancarkan sinar yang menghangatkan.

Kami pun beristirahat sambil memakan roti yang kami bawa. Setelah dihantam badai dari malam hingga pagi, kami merasa perjuangan kami tidak sia-sia, perjuangan kami terbayar. Sembari duduk di jalur pendakian, kami memandang sebuah lukisan alam yang tak terbayang harganya. Matahari terbit dan gunung Merapi (di seberang) menciptakan panorama yang sempurna. Begitu istimewa. Setelah puas menikmati matahari terbit, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Trianggulasi yang berada di ketinggian 3142 Mdpl.

Di puncak Trianggulasi, kami menyempatkan untuk merebus telur dan menikmati kopi. “Kenapa tidak di puncak Kentheng Songo saja?”. Kami memilih merebus telur dan menikmati kopi di puncak Trianggulasi karena di situ sepi pada saat itu. Pada saat kami melihat ke arah puncak Kentheng Songo (yang berada di ketinggian 3145 Mdpl), disana terlihat banyak pendaki yang sepertinya sibuk untuk mencari sudut pandang foto yang bagus untuk diunggah di sosial media. Ya, kami tentu saja memilih untuk menikmati secangkir kopi hangat, telur rebus, dan pemandangan alam dari puncak Trianggulasi. Canda tawa kami pecah disitu.


Setelah puas menikmati kopi di puncak Trianggulasi, barulah kami berpindah ke puncak Kentheng Songo. Disana kami hanya berfoto-foto sebentar, kemudian turun. Tidak lama kami di Kentheng Songo. Ketika turun, cuaca kala itu sangat cerah, sangat bersahabat. Sesampai di tenda yang berada di Sabana 2, kami langsung menyiapkan logistik untuk makan siang. Karena cuaca yang bersahabat, kami memasak di luar tenda. Andre memasak nasi, Ngek dan Appe membuat roti bakar serta menggoreng mie, dan Pendi…tidur. Mungkin ia lelah, karena ini adalah pendakian pertamanya.

Merbabu membayar tuntas rindu kami. Pendakian yang penuh warna. Mulai dari Vespa yang agak sedikit tersendat lajunya, cuaca hujan di basecamp, senja merona pada saat kami baru memulai pendakian. Hingga badai yang membuat badan meriang dan kepala pusing. Namun semesta memberi sebuah penutup yang indah. Pagi cerah yang hangat membasuh raga kami. Begitu damai, begitu tenang. Merbabu penawar rindu.

Komentar

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini